-->

Film Habibie dan Ainun kisah nyata yang maenjadi inspirasi semua orang.



"Oemar Bakri... Bikin otak seperti otak Habibie"

—Iwan Fals, “Oemar Bakri”—

MENONTON Habibie & Ainun siapkanlah tisu. Saat nonton film ini bareng istri, Selasa (25/12) kemarin, istri saya bilang ia mentikkan air mata sampai 3 kali.

Ya, filmnya memang mengundang haru dan tangis. Tapi, seperti yang sudah ditulis dengan baik di ulasan filmnya di situs ini, filmnya tidak jatuh menjadi cengeng. Tulisan ini tak hendak mengulang mengulas filmnya, namun membincangkan wacana lain yang disodorkan filmnya. Saya percaya, film baik adalah film yang memberi kita kesempatan untuk tidak lagi mempersoalkan aspek teknis sinema di dalamnya. Melainkan membincangkannya bersama lebih dari sekadar karya sinema.

Habibie & Ainun sudah bisa dibilang lolos dari persoalan teknis (Reza Rahadian, misalnya, berperan sangat baik memerankan Habibie tanpa terlihat karikatural). Jadi, mari bicarakan hal lain. Let’s talk beyond the movie.

Bagi saya, adegan paling mengharukan di film tersebut bukan saat pasang surut kisah asmara Habibie dan Ainun. Melainkan, ketika Habibie mengajak serta Ainun ke hanggar pesawat Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang terbengkalai. Dengan bergetar dan kemudian tak sanggup menahan tangis, Habibie mengatakan, sudah mengorbankan waktu untuk istri dan anak-anaknya demi membangun pesawat itu. Tapi kemudian, pesawatnya dibiarkan tak diurus hingga berdebu.

Apa yang sebenarnya terjadi?

***

Membincangkan Habibie pastilah juga membincangkan kejeniusannya. Otaknya yang cemerlang. Generasi yang tumbuh di tahun 1980-an hingga awal 1990-an pasti sering mendengar ungkapan dari orangtua atau guru agar giat belajar agar besar nanti jadi pintar seperti Pak Habibie. Iwan Fals bahkan menyebut Habibie dalam salah satu syairnya. Nah, salah satu bukti kejeniusan beliau adalah pesawat terbang produksi IPTN.

 

Sebuah profil Habibie yang pernah ditulis majalah Forum (edisi 9 Januari 2000) menyebut Habibie bukan sekadar mengubah bengkel pesawat Lembaga Industri Penerbangan Nusantara (Lipnur) menjadi sebuah pabrik pesawat terbang modern bernama IPTN. Ia juga mengubah pendekatan alih teknologi dalam industri aeronautika Indonesia.

Biasanya, ilmuwan negara berkembang mengekor kemajuan teknologi Barat. Mereka harus mempelajari teknologi dasar terlebih dahulu dalam pembuatan pesawat terbang. Padahal, teknologi berkembang demikian pesat, sehingga alih tekonologi tetap takkan mampu mengejar ketertinggalan yang ada. Tapi, Habibie melakukan pendekatan potong kompas dengan langsung melakukan alih teknologi mutakhir. “Setelah itu baru kita belajar teknologi yang tingkatannya ada di bawahnya,” katanya suatu ketika seperti ditulis Forum.

Hasilnya, diakui atau tidak Habibie dan IPTN telah mengubah citra Indonesia dalam hal teknologi dirgantara. Berkat Habibie, Indonesia telah menjadi satu dari tujuh negara pembuat pesawat terbang di dunia. Sampai tahun 2000, ketika majalah Forum menulis profil Habibie di edisi khusus “100 Tokoh Indonesia Abad 20” IPTN berhasil menjual 173 pesawat CN-235 dan sekitar 125 pesawat N-250.

***

Seperti diterangkan di film, puncak pencapaian Habibie di bidang kedirgantaraan terjadi saat N-250 pertama kali mengangkasa tahun 1995. Yang kurang diterangkan di film bagaimana kemudian industri pesawat yang dibangunnya dari nol runtuh dan berujung pada adegan mengharukan di hanggar melihat pesawat terbengkalai dibiarkan berdebu. Yang tak diterangkan pula, visi dan rencana Habibie mengembangkan jenis pesawat jet produksi IPTN yang diberi kode N-2130.

Sejarah 15 tahun lalu mencatat, Indonesia didera krisis ekonomi yang lazim disebut Krismon (krisis moneter). Pada 1997 nilai tukar rupiah atas dollar AS terjerembab jatuh. Harga-harga melambung tinggi. Rakyat Indonesia banyak yang mendadak miskin karena pengangguran merajalela. Rakyat marah. Mahasiswa bergerak menuntut Reformasi. Mahasiswa ditembaki. Jakarta rusuh. Soeharto, yang sudah berkuasa selama 32 tahun, pada Mei 1998 mengundurkan diri. Habibie, yang kala itu menjabat Wakil Presiden, menggantikannya.

 

Ada peristiwa lain terselip dari sejarah Indonesia 15 tahun terakhir di atas. Saat krismon, Indonesia meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) membenahi perekonomian sekaligus memberi pinjaman karena kala itu kita tak cukup punya cadangan devisa. Namun, pada 1997, IMF memberikan syarat jika Indonesia ingin menerima pinjaman AS$ 5 miliar untuk mengatasi krisis ekonomi. Salah satu klausul letter of intent berbunyi pemerintah tidak boleh lagi memberikan subsidi pada IPTN.

Anggapan umum kala itu, kalau Anda ingat, industri pesawat memang dianggap proyek mercusuar Soeharto yang manfaatnya bagi rakyat kebanyakan tak terasa. Habibie malah dibilang “big spender” lantaran memboroskan anggaran negara. Soeharto menyerah pada IMF. Genderang kematian IPTN bermula dari situ.

Padahal, selepas sukses menerbangkan N-250, lompatan Habibie berikutnya adalah membuat pesawat komuter berpenumpang 100 orang. Hanya berselang setahun setelah peluncuran Gatotkaca N-250, IPTN mengumumkan proyek pesawat jet N-2130. Proyek itu butuh sekitar AS$ 2 miliar. Dana dicoba diraup dengan menjual dua juta lembar saham. Lalu dibentuklah PT Dua Satu Tiga Puluh (DSTP). Kala itu, masyarakat dan pengusaha seperti dipaksa membeli saham DSTP. Hingga krisis moneter datang pada 1997. Setahun kemudian, dalam rapat umum pemegang saham luar biasa, diputuskan DSTP melikuidasi diri. Proyek N-2130 pun berhenti. Kuncupnya layu sebelum berkembang.

Kepada Tempo yang menulis perjalanan hidupnya di rubrik Memoar (Tempo, edisi 3 Juni 2012), mengatakan N-250 dan N-2130 akan sukses bila programnya tak dihentikan. Omongan itu terasa ada benarnya. Melihat industri maskapai penerbangan yang tumbuh pesat sejak akhir 2000-an dengan adanya penerbangan murah, Indonesia sepatutnya tidak sekadar jadi konsumen pembeli tiket pesawat. Tapi juga mampu memanfaatkannya sebagai penghasil pesawat-pesawat komuter tersebut.

Andai, IPTN tak dikebiri dulu, saya mengira Air Asia, Lion Air, atau Citylink mungkin akan membeli N-2130 buatan IPTN dan bukan pesawat keluaran Boeing atau Air Bus.

***

Dari kenyataan itu saya lantas berkesimpulan, Habibie adalah sosok yang melampaui zamannya. Pada orang semacam beliau, zaman memang kadang kurang bersahabat. Ia dianggap pemboros padahal misinya mulia menghubungkan gugusan pulau di Nusantara dengan pesawat komersil buatan anak negeri sendiri.

Sayang memang, sejarah kerap tak berpihak pada orang jujur yang berhati mulia. Cita-cita kita punya industri pesawat terbang sendiri akhirnya jadi impian yang sirna digerus zaman. Kapan kita bisa membangkitkan mimpi itu lagi?

www.tabloidbintang.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel